Legenda Putri Komodo
Legenda Putri Komodo
Dahulu kala di sebuah pulau tinggallah seorang pria bernama Empu Najo dan istrinya, Lea. Lea dikneal oleh penduduk sekitar dengan sebutan putri naga. Mereka tinggal di Teluk Loh Lawi di Gili Mana. Di sana, Empu Najo terpilih menjadi kepala desa. Namun, desa tersebut terus diserang oleh orang-orang dari Suku Bajo yang tak segan menjarah dan mengobrak-abrik desa mereka hingga luluh lantak.
Setiap kali ada serangan, warga desa memilih mundur ke gunung. Namun, mereka tak bisa menyembunyikan kesedihan dan hati yang berkeping-keping ketika kembali melihat desa mereka yang hampir rata dengan tanah. Berusaha tetap setegar karang, suatu hari Empu Najo mengumpulkan penduduk desa dan mengumumkan, “Wargaku, kita harus pindah dari tempat ini. Suku Bajo akan terus menyerang kita. Marilah kita menetap di gunung. Hutan bisa memberi kita makan. Kita juga bisa merawat kebun, menanam pohon buah, dan berburu kijang dan babi hutan yang melimpah.” Mereka menyebut desa baru mereka Najo untuk menghormati pemimpin mereka.
Di malam terakhir ketika meninggalkan Loh Lawi, istri Empu Najo, Lea mengandung. Ketika desa baru mereka selesai dibangun, Lea siap untuk melahirkan buah hatinya. Dia merasakan sakit luar biasa. Masalahnya, desa ini tidak memiliki dukun bayi.
Dengan berat hati, Empu Najo sendiri yang membantu Lea melahirkan bayi mereka. Ketika itu angin menari-nari membawa masuk daun-daun di luar melalui jendela dan mengelilingi Lea. Wajah Lea bersinar seperti bulan purnama. Kemudian Empu Najo terkejut. Dia merasa ada sesuatu yang aneh. Sungguh aneh. Lea melahirkan seorang bayi laki-laki dan seorang kembaran perempuan yang bentuknya jauh dari manusia. Kulitnya bersisik, berbintik-bintik, matanya hitam, dan dia memiliki … ekor. Empu Najo menatap anak perempuannya yang sangat mungil, namun penampakannya seperti kadal raksasa yang berkelana di sabana di batas desa. “Anakmu laki-laki …” kata Empu Najo ragu-ragu, sambil menatap istrinya. Tapi sayangnya, ruh sudah meninggalkan jasad Lea.
Empu Najo harus berlapang dada ditinggalkan belahan hatinya. Dia bertekad untuk membesarkan sendiri kedua anaknya. Dia memberi nama bayi laki-lakinya Si Gerong, dan anak perempuannya, Orah. Dia memberi mereka makan susu kambing dan madu. Dua-duanya tumbuh dengan cepat. Tapi jauh sebelum Gerong bisa berjalan, Orah sudah menjelajahi jalan di luar rumah dan bahkan memanjat pohon.
Meskipun susu masih bisa memenuhi rasa laparnya, dia mulai tertarik pada ayam-ayam milik tetangga. Tetangga mulai mengeluh kepada Empu Najo. “Aku akan memberimu daging,” katanya pada Orah, “tapi kamu tidak boleh menyerang kambing atau ayam warga.” Meski Orah tidak lagi mengganggu ternak warga, dia tetap menjadi buah bibir penduduk desa. Mereka curiga ada komodo yang tinggal bersama mereka di desa. Untungnya, ayah dan kakaknya tetap melindungi Orah dan menunjukkan kasih sayangnya. Malahan, Si Gerong lebih suka bermain dengan adiknya daripada dengan anak-anak lain. Dua bersaudara ini memanjat pohon bersama, atau mengejar kalkun ke dalam hutan.
Suatu hari, Orah hilang. Dia meninggalkan rumah ketika matahari baru bangun dan jejaknya menunjukkan bahwa dia menuju hutan. “Apakah dia akan kembali?” tanya Si Gerong pada ayahnya dengan air mata yang membanjir. “Ya, jangan khawatir, dia akan kembali,” balas Empu Najo. Tapi dia sendiri juga tampak cemas. Orah akhirnya kembali ke rumah malam itu. Namun, semakin hari dia semakin lama meninggalkan rumah dan hanya kembali sesekali. Sampai suatu pagi, Si Gerong menemukan adiknya di tepi ranjangnya.
Mereka saling menatap lama dan kemudian Orah berpaling dan pergi. Si Gerong tahu bahwa kali ini, Orah tidak akan kembali. Tahun-tahun berlalu, Si Gerong tumbuh menjadi pemburu yang berpengalaman. Tidak ada babi hutan atau kijang yang sanggup menghindar dari ujung tombaknya. Suatu hari Si Gerong sedang berburu di tepian hutan dekat dengan sabana ketika dia mendengar suara gemerisik di dekat sungai. Dia melihat kijang jantan, telinganya tegak dan tanduknya besar. Si Gerong pelan-pelan mendekat ke kijang tersebut, dan secepat kilat melompat dari semak-semak dengan tombak yang terarah. Tapi tiba-tiba, dia merasakan ada sesuatu di belakang kakinya.
Makhluk ini mulutnya terbuka dan mata hitamnya tertuju pada kijang yang tak berdaya. Ini komodo terbesar yang pernah dilihat Si Gerong. Dengan refleks, dia berbalik dan mengarahkan tombaknya pada reptil raksasa tersebut. Namun komodo itu malah meletakkan kepalanya ke tanah. Tiba-tiba pula berdiri di depannya sosok seorang perempuan. “Letakkan tombakmu, anakku,” kata perempuan itu padanya. “Apa kamu ingin membunuh adikmu sendiri?” Mendadak semua kenangan masa kecilnya melintas di kepalanya dan Si Gerong pun jatuh berlutut. “Ya, dia Orah. Aku mengandung kalian bersama... dia saudara kembarmu,” sosok perempuan itu berkata.
Setelah itu, Gerong pun berpisah dengan adiknya. Si Gerong menuju desanya dan Orah menuju sabana. Semenjak hari itu, Si Gerong dan orang-orang di desanya memperlakukan komodo dengan baik. Kadal raksasa itu bebas berkelana di sekitar hutan, memakan babi hutan, kijang, dan hewan lain yang ada di sana. Ketika ada komodo menjadi terlalu tua untuk mencari makan sendiri, warga desa akan memberi makan, seolah komodo-komodo itu darah daging mereka sendiri.
******
Source: Buku Bahasa Indonesia: Anak-Anak yang Mengubah Dunia
Post a Comment for "Legenda Putri Komodo"